“ My speciality is being right when other people are wrong .” –George Bernrd Shaw Kita selalu salah dengan menjadi benar. Akal...

BAGAIMANA JIKA KAMU YANG SALAH? (Gustavo Razzeti)




My speciality is being right when other people are wrong.” –George Bernrd Shaw

Kita selalu salah dengan menjadi benar. Akal manusia itu brilian sekaligus menyedihkan –kita terus menerus membuat penemuan yang canggih, pun juga cenderung salah (dan dungu tentang fakta).

Kalian mungkin berpikir bahwa kalian mengetahui banyak hal lebih dari yang sebenarnya kalian ketahui –seperti saya dan orang lain juga. Kita sering menganggap bahwa diri kita mengetahui bagaimana suatu hal bekerja, namun sebenarnaya tidak betul-betul memahami hal tersebut. Kita seakan percaya telah membuat keputusan yang logis, namun fakta tidak dapat mengubah pikiran kita. Bahkan, ketika kita sadar diri kita salah, kita terus menyangkal hal tersebut. Memenangkan sebuah argumentasi lebih berharga dari pada belajar hal yang baru –karena kita senang menjadi benar.

Bagaimana jika menerima bahwa diri kita selalu salah? Dan berhenti berpura-pura tahu segalanya. Mindset ini mampu menghilangkan perasaan tidak ingin kalah dalam pertarungan (Infallibility Battles). Dengarkanlah sebelum kamu berpikir bahwa aku salah!

Mengapa selalu benar itu salah?

Wrong does not cease to be wrong because the majority share in it
-Leo Tolstoy

Fakta tidak akan meruba pikiran kita.

Sejak Dahulu berbagai macam eksperimen telah membuktikan, sekali kita membentuk sebuah opini, hampir tidak mungkin kita mengubahnya –bahkan ketika semua orang menyampaikan data yang benar.

Penelitian di Stanford telah memilih kelompok pelajar –setengahnya mendukung hukuman fisik untuk diimplementasikan; setengahnya lagi tidak sepakat. Keduanya merepresentasikan hal yang berbeda. Satu sisi menyiapkan data untuk mendukung argumentasi bahwa hukuman manti perlu dilaksanakan. Di sisi lain memaparkan fakta-fakta untuk mematahkan argumentasi tersebut.

Pelajar yang setuju bahwa hukuman pisik perlu diterapkan meyakini studi yang mereka temukan kredibel sedangkan yang lain tidak. Pun pelajar yang tidak setuju, mereka tetap kukuh dengan argumentasnya. Di akhir eksperimen, bukan hanya tidak ada pelajar yang merubah pemikiran mereka, namun kedua tim tersebut tidak mengubah sedikitpun argumentasi mereka. Otak memanipulasi persepsi kita sehingga kebal terhadap fakta.

Confrimation Bias’ adalah kecenderungan mengambil informasi untuk mendukung suatu kepercayaan yang dianggap oleh diri kita benar dan menolak yang lain.

Sebagaimana yang dikatakan pesulap Penn Jilliete, “If there’s something you really want to believe that’s what you question the most”.

Ada banyak jenis kesalahan dalam berpikir. Kita cenderung untuk memikirkan bahwa kita lebih pintar dari yang sebenarnya dan meremehkan seagala logika yang tidak sesuai dengan diri kita.

“Eror Blindness” istilah yang diciptakan oleh definisi pribadi yang salah (Kathryn Schulz). Dia percaya bahwa “kita tidak memiliki sinyal internal untuk mengetahui bahwa kita salah dalam suatu hal sampai pada waktu yang sangat telat”.

Sebagaimana yang telah ia jelaskan dalam acara TED Talk, pola pikir khayalan seperti ini berangkat dari tiga fase yang berbeda.

Pertama, kita salah namun belum menyadarinya. Kita terlampau percaya diri karena menganggap kebenaran berada di pihak kita. Sehingga kita perlu memeriksa fakta dua kali. Kedua, kita mengakui kesalahan kita –baik dengan cara inropeksi atau karena menerima data yang lebih valid. Kita rentan merasa dibawah kepungan. Ketiga, kita berusaha bertahan karena marasa sedang diserang.

Kita lebih memilih untuk tetap pada pendirian meskipun, dalam batin yang paling dalam, kita mengetahui bahwa kita salah.

Dalam buku, The Knowladge Illusion, ilmuan kognitif Seteven Sloman dan Philip Fernbach membantah bhawa kita bertahan dan berkembang meskipun kita memiliki kekurangan mental. Kunci  kecerdasan kita terdapat dalam pengetahuan orang lain, bukan pada diri kita.

Penulis mengutip sebuah studi Yale yang mana mahasiswa S1 harus menilai pemahaman mereka terhadap produk sehari-hari seperti toilet, ritsleting, dll. Setiap orang memberikan penilaian yang jujur terhadap diri mereka masing-masing. Selanjutnya mereka diminta menggambarkan, step-by-step, bagaimana hal tersebut terjadi. Ketika diminta kembali untuk menilai diri mereka lagi, penilaian tersebut turun. Pengalaman terungkap pada mahasiswa yang acuh. Ritsleting dan toilet, ternyata lebih rumit dari yang kita dibayangkan.

Hal yang senada terjadi pada sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Rebecca Laswson, seorang psikolog di University of Liverpool. Dia meneliti sebuah grup pelajar yang kehilangan beberapa bagian dari pada kerangka dalam sebuah gambar speda. Ketika ditanya kemanakah seharusnya rantai atau pedal diletakan, para pelajar merasa percaya diri –semuanya merasa menjawab pertanyaan dengan benar.Padahal, Rata-rata pelajar tidak memahami bagaimana sebenarnya speda bekerja.

Sloman dan Fernbach menyebut hal ini dengan “illusion of explanatory depth” –kita semua percaya bahwa diri kita memahami sesuatu lebih dari pada realitasnya.

Masalahnya karena kita acuh, melainkan kita terbiasa menyembunyikan fakta. Membakar jembatan dan menciptakan gesekan dengan orang lain hanya untuk membela diri. Kita membiarkan ego mengambil alih kehidupan yang pada akhirnya sikap merasa benar memicu pertarungan yang tidak berarti.

Mengapa Kita Mencintai Kemenangan, Dari Pada Belajar Sesuatu?

Kamampuan kita dalam beralasan lebih didominasi oleh keinginan untuk menang dari pada berpikir lurus. Ilmuan menyebut hal ini dengan fenomena “motivated reasoning”. Dalam alam bawah sadar kita –baik hasrat dan ketakutan membentuk cara kita saat menginterpretasikan suatu hal dan informasi.

Eckhart Tolle mengatakan: “Needing to be right is a form of violance

Dalam acara TEDx talk, Julia Galef, seorang co-founder the Center for Applied Rationality, menjelaskan mengapa informasi dan pikiran seakan-akan menjadi sekutu untuk menang. Di sisi lain, kita menganggap gagasan dan konsep yang bersebrangan dengan kita sebagai musuh.

Galef menamakannya dengan “soldier mindset

Hal tersebut terjadi dalam pekerjaaan, olahraga, atau politik. Ketika orang lain menghakimi pihak kita dengan tidak adil, kita akan marah. Namun, ketika perlakuan tersebut terjadi di pihak sebaliknya, kita merasa kedilan telah ditegakan. Contohnya, jika seorang wasit memberi kartu penalti kepada tim kita, kita berusaha mencari kesalahanya. Akan berbeda jika hal tersebut terjadi kepada tim lawan, kita bergembira dengan hal itu.

Sebagaimana dikatakan oleh Julia Galef “Our judgment is strongly influenced, unconsciously, by which side we want to win. And this is ubiquitous. This shapes how we think about our health, our relationship, how we decide how to vote, what we consider fair or ethical

Mindset untuk melindungi diri telah mengakar dalam pikiran seorang tentara. Tekanan untuk merasa benar mengangkat adrenalin kita sehingga mengalami fight or flight respon.

Naluri seorang pramuka menuntut untuk lebih memahami dari pada mempertahankan apa yang ia percayai. Ia terbiasa pergi keluar, memetakan medan jalan, dan mengidentifikasikan halangan. Memastikan apa yang benar-benar terjadi.

Pola pikir yang kamu pilih mempengaruhi analisa, pertimbangan, dan dalam membuat keputusan.

Pola pikir seorang tentara didasari oleh agresi dan tribalisme. Sedangkan seorang pramuka cenderung penasaran, tertarik dengan fakta yang bersebrangan, dan tidak merasa cemas untuk mengubah pikiran.

Tidak ada seorang pun yang akan menang dalam sebuah infallibility battle –keadaan tidak ada satupun pihak yang merasa salah. Itulah mengapa sebuah perbedaan pola pikir dapat membantu kamu untuk melawan dan menururnkan eskalasi kalah dalam pertarungan argumen.

Bagaimana Jika Aku Salah Dalam Hal Ini?

Confidence comes not from always being right, but from not fearing to be wrong”.
– Peter Mclntry

Aku terbiasa melakukan aturan 50% - 50% ketika mengahadapi konflik, asumsikan bahwa 50% kita salah dan 50%nya lagi kita benar. Aku terbiasa mengajarkan aturan ini ketika berada dalam sebuah tim workshop. Hal tersebut mujarab untuk mengubah persepi seseorang untuk menyalahkan orang lain. Setiap orang fokus untuk menjadi adil.

Hari ini, aku menyarankan kalian untuk melakukan hal yang lebih ekstrim. Saat kalian menghadapi perdebatan, sebelum mulai, anggap dirimu 100% pihak yang salah. Lihatlah apa yang akan terjadi.

Pola pikir ini bukan hanya menguji ketahanan kalian. Lebih dari itu kalian sedang melatih pikiran kalian untuk mengatasi segala prasangka yang telah kita diskusikan diatas.

Ketika kalian berjuang, tanyakan dirimu, “Bagaimana jika aku yang salah dalam hal ini?”Terdengar berat, bukan? Namun kenyataanya, kalian salah dalam banyak hal sebagaimana saya dan orang lain. Kita semua mengalami cognitive delusion.

 NB :

Artikel ini diterjemahkan dari website Psychology Today, ditulis oleh Gustavo Razzatti, dengan judul What If You’re the One Who’s Wrong?

0 komentar: