Keadilan menurut Barat menyangkut persoalan dua orang atau lebih, inheren kepada negara dan masyarakat. Permasalahan yang terjadi pada setiap individu selalu dikaitkan pada tanggung jawabnya kepada masyarakat dan negara. Gambaran keadilan yang dipahami oleh Barat tergambar dari pendapat Aristoteles, jika seseorang melakukan bunuh diri berarti ia telah zalim bukan kepada dirinya melainkan zalim kepada masyarakat dan negara. Karena ia lari dari tanggung jawabnya untuk berkhidmat kepada masyarakat dan negara.
Sedangkan islam melihat sebuah keadilan bermula dari diri sendiri iaitu
pribadi insan sebagai individu. Bagi seseorang yang melakukan kezaliman artinya ia merugikan diringa sendiri.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang)
anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “ Betul
(Engkau Tuhan kami)……”(Al-araf:
172)
Allah SWT berfirman kepada seluruh arwah zuriat Adam AS sebelum
diturunkannya ke bumi sebagai manusia yang utuh bahwa mereka bersaksi dengan
diri mereka sendiri Allah adalah Tuhan mereka, dengan demikiaan terjadilah
ikatan perjanjian awal antara insan dengan Tuhannya.
Perjanjian tersebut adalah bukti setiap manusia yang Allah ciptakan
telah melihat kebenaran dan mengamini bahwa Allah adalah Tuhan mereka. Siapapun
yang mengingkari perjanjian yang telah diikrarkan saat kesaksian tersebut, berarti
mereka telah berbuat zalim kepada diri mereka senidir dan akan diberikan hukuman. Kata ‘zalim’ yang merujuk kepada diri sendiri
digambarkan oleh kisah Nabi Adam AS dan Siti Hawa yang tehasut oleh bisikan
iblis.
“Mereka berdua (Nabi Adam dan Siti Hawa) berkata, “Ya Tuhan kami, kami
telah menzalimi diri kami sendiri. Jika engkau tidak mengampuni kami dan
memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang yang rugi” (Al-A’raf:
26)”
Al-Quran sering mengkaitkan perilaku jahat, kafir, dan fasik sebagai
tanda kezaliman pada diri sendiri. Maka dari itu orang yang baik ialah yang
adil terhadap dirinya sendiri. Keadilan pada diri sendiri akan menghasilkan
akhlak yang baik, dan akhlak yang benar haruslah mengikuti sumber yang benar yaitu
sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Oleh karena itu, urgensi membina diri agar
menjadi insan yang sempurna semata-mata demi kebaikan individu tersebut di
Akhirat dan juga demi ketaatan pada Allah SWT.
Sumber kepercayaan, kesetiaan, kebenaran hanya ada pada Allah saja, bukan
pada masyarakat apalagi suatu negara.
Karena masyarakat dan juga negara besifat dinamis, selalu berubah-ubah seiring
berjalannya waktu sehigga keadilan yang disandarkan pada kedua aspek tersebut
akan menimbulkan kekacauan, ketidak konsistenan, dan potret akhlak atau sesuatu
yang dianggap baik akan terus berubah-ubah.
Sehingga haruslah keadilan disandarkan pada sesuaatu yang tetap dan
tidak berubah-ubah iaitu ketentuan Tuhan.
Sebagaimana istilah Madinatu’l Fadilah bukan dimaksudkan untuk membentuk
Warganegara yang sempurna, melainkan agar terciptanya individu-individu yang
berakhlak sehingga terciptalah masyarakat yang adil dan sejahtera. Warganegara
yang sempurna belum tentu menghasilkan manusia yang sempurna pula. Namun
manusia yang sempurna mampu menciptakan Warganegara yang sempurna.
__________________
Reference:
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin,
37-41.
0 komentar: